Kamis, 29 November 2012

ILMU SOSIAL DASAR

KONFLIK LAMPUNG
Salah satu budayawan Lampung, Ir H Anshori Djausal MT, mengingatkan bahwa konflik antarwarga berbeda asal usul di Lampung seharusnya dapat diatasi dengan solusi sosial dan budaya.
"Seharusnya ada solusi sosial budaya, karena tetap ada nilai-nilai budaya yang universal yang dapat mempertemukan dua masyarakat yang berbeda di sini," kata Anshori, di Bandarlampung, Selasa (30/10), menanggapi formula yang paling tepat mengatasi bentrokan antarwarga di Kecamatan Waypanji, Kabupaten Lampung Selatan.
Bentrok warga antarkampung masyarakat pendatang dengan warga Lampung di Desa Balinuraga/Sidoreno, Kecamatan Waypanji, Sabtu--Minggu (28-29/10), mengakibatkan sedikitnya sembilan warga tewas, beberapa lainnya terluka, belasan rumah warga desa ini dibakar dan dirusak massa. Bentrokan itu berdampak ribuan warga itu harus diungsikan ke tempat yang aman di Bandarlampung, Selasa (30/10).
Beberapa kali sebelumnya, bentrokan antarwarga berbeda asal-usul itu terjadi di Lampung Selatan, serta di beberapa tempat lainnya di Provinsi Lampung, umumnya dengan faktor pemicu masalah yang sebenarnya dinilai sepele.
Bentrokan warga Desa Balinuraga/Sidoreno, Waypanji, dengan warga dari beberapa desa di Kalianda, Lampung Selatan itu, diduga dipicu informasi adanya kasus pelecehan seksual terhadap dua gadis warga Desa Agom, Kalianda, saat bersepeda motor melewati desa itu yang dilakukan beberapa pemuda di sana.
Namun belakangan dinyatakan bahwa para pemuda itu justru bermaksud menolong kedua gadis yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan terjatuh dari sepeda motornya, kemudian justru tersebar informasi bahwa mereka melakukan pelecehan terhadap kedua gadis itu.
Kabar itulah yang memicu warga Desa Agom dan beberapa desa sekitarnya menjadi marah, sehingga mendatangi dan menyerang warga Desa Balinuraga/Sidoreno, Waypanji, sehingga terjadi bentrokan berdarah.
Menurut Anshori, di Lampung sebenarnya sudah banyak contoh koeksistensi masyarakat yang berbeda, yang sudah berjalan ratusan tahun.
Mereka dapat hidup berdampingan secara damai dan saling mengisi satu sama lain. "Tetapi, memang memerlukan kepemimpinan sosial yang kuat untuk menjamin terbangun konsensus sosial yang kondusif," ujar alumni ITB Bandung itu pula.
Menanggapi kecenderungan masyarakat kurang percaya dengan pemimpin informal, tokoh adat, pemuka agama maupun pemimpin formal/pejabat, sehingga sering mengambil keputusan sendiri mengikut arus massa, menurut dia, perlu upaya yang serius dan harus dilakukan melalui dialog antarbudaya untuk menembus kebuntuan komunikasi itu.
"Tapi dalam situasi yang kacau seperti saat ini (di Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan, Red) tentunya tidak sesederhana itu," ujar dia pula.
SISTEM PELAPISAN SOSIAL DIBALI (SISTEM KASTA)
Sistem kasta Bali adalah suatu sistem organisasi sosial yang mirip dengan sistem kasta India. Akan tetapi, sistem kasta India jauh lebih rumit daripada Bali, dan hanya ada empat kasta dalam sistem kasta Bali.
Empat kasta Bali antara lain:
Sudra – petani, berjumlah sekitar 90 persen dari populasi Bali
Wesias (Waisya) – kasta pedagang dan pegawai pemerintahan
Satria (Kshatriya) – kasta prajurit, juga mencakup bangsawan dan raja
Brahmana – pendeta
1.      Sudra.
Sudra (Sanskerta: śūdra) adalah sebuah golongan profesi (golongan karya) atau warna dalam agama Hindu di India. Warna ini merupakan warna yang paling rendah. Warna lainnya adalahbrahmana, ksatria, dan waisya. Sudra adalah golongan karya seseorang yang bila hendak melaksanakan profesinya sepenuhnya mengandalkan kekuatan jasmaniah, ketaatan, kepolosan, keluguan, serta bakat ketekunannya. Tugas utamanya adalah berkaitan langsung dengan tugas-tugas memakmurkan masyarakat negara dan umat manusia atas petunjuk-petunjuk golongan karya di atasnya, seperti menjadi buruh, tukang, pekerja kasar, petani, pelayan, nelayan, penjaga, dll.
2.      Waisya
Waisya adalah golongan karya atau warna dalam tata masyarakat menurut agama Hindu. Bersama-sama dengan Brahmana dan Ksatria, mereka disebut Tri Wangsa, tiga kelompok golongan keraya atau profesi yang menjadi pilar penciptaan kemakmuran masyarakat. Bakat dasar golongan Waisya adalah penuh perhitungan, tekun, trampil, hemat, cermat, kemampuan pengelolaan asset (kepemilikan) sehingga kaum Wasya hampir identik dengan kaum pedagang atau pebisnis. Kaum Waisya adalah kelompok yang mendapat tanggungjawab untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dan bisnis agar terjadi proses distribusi dan redistribusi pendapatan dan penghasilan, sehingga kemakmuran masyarakat, negara dan kemanusiaan tercapai.
3.      Kshatriya
Kesatria atau ksatria, adalah kasta atau warna dalam agama Hindu. Kasta ksatria ini merupakan bangsawan dan merupakan tokoh masyarakat bertugas sebagai penegak keamanan, penegak keadilan, pemimpin masyarakat, pembela kaum tertindas atau lemah karena ketidak-adilan dan ketidak-benaran. Tugas utama seorang ksatria adalah menegakkan kebenaran, bertanggung jawab, lugas, cekatan, prilaku pelopor, memperhatikan keselamatan dan keamanan, adil, dan selalu siap berkorban untuk tegaknya kebenaran dan keadilan. Di zaman dahulu ksatria merujuk pada klas masyarakat kasta bangsawan atau tentara, hingga raja.
Zaman sekarang, ksatria merujuk pada profesi seorang yang mengabdi pada penegakan hukum, kebenaran dan keadilan prajurit, bisa pula berarti perwira yang gagah berani atau pemberani. Kelompok ini termasuk pemimpin negara, pimpinan lembaga atau tokoh masyarakat karena tugasnya untuk menjamin terciptanya kebenaran, kebaikan, keadilan dan keamanan di masyarakat, bangsa dan negara.
4.      Brahmana 
Brahmana adalah salah satu golongan karya atau warna dalam agama Hindu. Mereka adalah golongan cendekiawan yang mampu menguasai ajaran, pengetahuan, adat, adab hingga keagamaan. Di zaman dahulu, golongan ini umumnya adalah kaum pendeta, agamawan atau brahmin. Mereka juga disebut golongan paderi atau sami. Kaum Brahmana tidak suka kekerasan yang disimbolisasi dengan tidak memakan dari makluk berdarah (bernyawa). Sehingga seorang Brahmana sering menjadi seorang Vegetarian. Brahmana adalah golongan karya yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan baik pengetahuan suci maupun pengetahuan ilmiah secara umum. Dahulu kita bertanya tentang ilmu pengetahuan dan gejala alam kepada para brahmana. Bakat kelahiran adalah mampu mengendalikan pikiran dan prilaku, menulis dan berbicara yang benar, baik, indah, menyejukkan dan menyenangkan. Kemampuan itu menjadi landasan untuk mensejahterakan masyarakat, negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya, menjadi manggala (yang dituakan dan diposisikan secara terhormat), atau dalam keagamaan menjadi pemimpin upacara keagamaan.